A,J.K. SURAU ALHIDAYAH 2010-2013

A,J.K. SURAU ALHIDAYAH 2010-2013

Tuesday, June 8, 2010

PENDAPAT MENGENAI TAHLIL

Acara tahlilan, biasanya berisikan acara pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dzikir(Tasbih, tahmid, takbir, tahlil, istighfar, dll), Sholawat dan lain sebagainya yg bertujuan supaya amalan tsb, selain untuk yang membacanya juga bisa bermanfaan bagi si mayit.
Berikut kami sampaikan beberapa dalil yang menerangkan sampainya amalan tsb (karena keterbatasan ruang & waktu maka kami sampaikan sementara dalil yg dianggap urgen saja, Insya Alloh akan disambung karena masih ada beberapa dalil hadits & pendapat ulama terutama ulama yang sering dijadikan sandaran sodara kita yg tidak menyetujui adanya acara tahlilan diantaranya pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Imam As-Saukani dll..
DALIL SAMPAINYA AMALIYAH BAGI MAYIT
1. Dalil Alqur’an:
Artinya:” Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a :” Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
2. Dalil Hadits
a. Dalam hadits banyak disebutkan do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan do’a ziarah kubur.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:” Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW – setelah selesai shalat jenazah-bersabda:” Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).
Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda:” mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW:
Artinya:” bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW menjawab, “Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya –insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
b. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit
Artinya: Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya:” Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).
c. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Saum
Artinya: Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya”(HR Bukhari dan Muslim)
d. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji
Artinya:Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya:” Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya ? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
3. Dalil Ijma’
a. Para ulama sepakat bahwa do’a dalam shalat jenazah bermanfaat bagi mayyit.
b. Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda:
Artinya:” Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
4. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya.
Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan dan niat.
Adapun dalil yang menerangkan shadaqah untuk mayit pada hari-hari tertentu seperti hari ke satu, dua sampai dengan ke tujuh bahkan ke-40 yaitu hadits marfu’ mursal dari tiga orang tabi`ien yaitu Thaus, Ubaid bin Umair dan Mujahid yang dapat dijadikan qaid kepada hadits-hadits mutlak (tidak ada qaid hari-hari untuk bershadaqah untuk mayit) di atas:
a. Riwayat Thaus :
Bahwa orang-orang mati itu akan dilakukan fitnah di dalam quburan mereka tujuh hari. Maka adalah mereka itu menganjurkanuntuk memberi shadaqah makanan atas nama mereka selama hari-hari itu.
b. Sebagai tambahan dari riwayat Ubaid bin Umair:
Dilakukan fitnah qubur terhadap dua golongan orang yaitu orang mukmin dan orang munafiq. Adapun terhadap orang mukmin dilakukan tujuh hari dan terhadap orang munafiq dilakukan 40 hari.
c. Ada lagi tambahan dalam riwayat Mujahid yaitu
Ruh-ruh itu berada diatas pekuburan selamatujuh hari, sejak dikuburkan tidak memisahinya.
Kemudian dalam beberapa hadits lain menyatakan bahwa kedua malaikat Munkar dan Nakir itu mengulangi pertanyaan-pertanyaan tiga kali dalam satu waktu. Lebih jelas dalam soal ini dapat dibaca dalam buku “Thulu’ ats-tsuraiya di izhaari makana khafiya” susunan al Imam Suyuty dalam kitab “ Al-Hawi lil fatawiy” jilid II.
Riwayat Thaus klik…
Wallohu a’lam bi shawwab.
Tambahan:
Sampainya Hadiah Bacaan Al-qur’an untuk mayyit (Orang Mati)
A. Dalil-dalil Hadiah Pahala Bacaan
1. Hadits tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 :
“ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah”
Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padaha imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut pengingkarannya itu. (mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25).
Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang dating padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap negeri, mereka membaca al-qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah meninggal, maka jadialah ia ijma . (Yasaluunaka fid din wal hayat oleh syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan
“ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar dibaca keatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat albaqarah dan akhirnya”
Hadits ini agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang pertama itu adalah wasiat seadangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
3. Hadits Riwayat darulqutni
“Barangsiapa masuk kepekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi
“ Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
(Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika mati salah seorang dari kamu, maka janganlah menahannya dan segeralah membawanya ke kubur dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya”.
6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban:
“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda: “Bacakanlah surat yaasin untuk orang yang telah mati diantara kamu”.
B. Fatwa Ulama Tentang Sampainya Hadiah Pahala Bacaan kepada Mayyit
1. Berkata Muhammad bin ahmad al-marwazi :
“Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan…” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
2. Berkata Syaikh aIi bin Muhammad Bin abil lz :
“Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).
3. Berkata Ibnu taymiyah :
“sesungguhnya mayyit itu dapat beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan seumpamanya”. (yas alunka fiddin wal hayat jilid I/442).

Di atas adalah kitab ibnu taimiah berjudul majmuk fatawa jilid 24 pada mukasurat 324. Ibnu taimiah ditanya mengenai seseorang yang bertahlil, bertasbih,bertahmid,bertakbir dan menyampaikan pahala tersebut kepada simayat muslim lantas ibnu taimiah menjawab amalan tersebut sampai kepada si mayat dan juga tasbih,takbir dan lain-lain zikir sekiranya disampaikan pahalanya kepada si mayat maka ianya sampai dan bagus serta baik.
Manakala Wahhabi menolak dan menkafirkan amalan ini.

Di atas pula adalah kitab ibnu tamiah berjudul majmuk fatawa juzuk 24 pada mukasurat 324.ibnu taimiah di tanya mengenai seorang yang bertahlil 70000 kali dan menghadiahkan kepada si mayat muslim lantas ibnu taimiah mengatakan amalan itu adalah amat memberi manafaat dan amat baik serta mulia.
4. Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah:
“sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya (yasaaluunaka fiddin wal hayat jilid I/442)
Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah dalam kitabnya Ar-ruh : “Al Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-qur’an disamping kubur” berkata : Menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad ad-dauri, menceritakan kepada kami yahya bin mu’in, menceritakan kepada kami Mubassyar al-halabi, menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan surat al-baqarah disamping kepalaku karena seungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian.
Ibnu qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama : “Mengabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad bin al-warraq, menceritakan kepadaku Ali-Musa Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit dimakamkan, seorang lelaki kurus duduk disamping kubur (sambil membaca al-qur’an). Melihat ini berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhnya membaca al-qur’an disamping kubur adalah bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam Muhammad bin qudamah kepada imam ahmad bin Hanbal : “Wahai abu abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi?. Imam Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, mengabarkan kepadaku Mubasyar dari Abdurahman bin a’la bin al-laj-laj dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya permulaan surat al-baqarah dan akhirnya dan dia berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat yang demikian itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan (Kitab ar-ruh, ibnul qayyim al jauziyah).
5. Berkata Sayaikh Hasanain Muhammad makhluf, Mantan Mufti negeri mesir : “ Tokoh-tokoh madzab hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-qur’an atau selain demikian daripada macam-macam kebaikan, boleh baginya menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya.
6. Imam sya’bi ; “Orang-orang anshar jika ada diantara mereka yang meninggal, maka mereka berbondong-bondong ke kuburnya sambil membaca al-qur’an disampingnaya”. (ucapan imam sya’bi ini juga dikutip oleh ibnu qayyim al jauziyah dalam kitab ar-ruh hal. 13).
7. Berkata Syaikh ali ma’sum : “Dalam madzab maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Menurut dasar madzab, hukumnya makruh. Namun ulama-ulama mutakhirin berpendapat boleh dan dialah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bahwa pendapat inilah yang kuat”. (hujjatu ahlisunnah wal jamaah halaman 13).
8. Berkata Allamah Muhammad al-arobi: Sesungguhnya membaca al-qur’an untuk orang-orang yang sudah meninggak hukumnya boleh (Malaysia : Harus) dan sampainya pahalanya kepada mereka menurut jumhur fuqaha islam Ahlusunnah wal-jamaah walaupun dengan adanya imbalan berdasarkan pendapat yang tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi rosail).
9. Berkata imam qurtubi : “telah ijma’ ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang yang sudah mati, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan al-qur’an, doa dan istighfar karena masing-masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits : “Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebaikan adalah sedekah)”. (Tadzkirah al-qurtubi halaman 26).
Begitu banyaknya Imam-imam dan ulama ahlusunnah yang menyatakan sampainya pahala bacaan alqur’an yang dihadiahkan untuk mayyit (muslim), maka tidak lah kami bisa menuliskan semuanya dalam risalah ini karena khawatir akan terlalu panjang.
C. Dalam Madzab Imam syafei
Untuk menjelaskan hal ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafei dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafei berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….”
Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam Madzab syafei menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan terbut. Dan seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa denagn sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih utama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai.
Dalam menanggapai qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :
“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzab syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”.
Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan samapainya pahala bacaan itu kepadanya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya”.
Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk simayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).
D. Dalil-dalil orang yang membantah adanya hadiah pahala dan jawabannya
1. Hadis riwayat muslim :
“Jika manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya”
Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu (terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar utang itu miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah memperoleh manfaat (intifa’) dari orang lain.
2. Firman Allah surat an-najm ayat 39 :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap digunakannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara jawaban-jawaban itu adalah :
a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut :
1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta dan suka padanya. Maka banyaklah orang-orang itu yang menyayanginya. Merekapun berdoa untuknya dan mengahadiahkan pula pahala dari ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dari usahanya sendiri. Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain didalam ikatan islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal sampainya kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin kepada yang lainnya baik didalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin yang lain. Dalam satu penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya dan kaum mukminin sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).
2. Ayat al-qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu hanya menafikan “kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah SWT hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri). Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).
Demikianlah dua jawaban yang dipilih pengarang kitab syarah thahawiyah.
b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam (umat Nabi Muhammad SAW), maka mereka bias mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain”.
Jadi ayat itu menerangkan hokum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam menafsirkan ayat tersebut :
“ ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam sorga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya, berarti sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.
d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata : “Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianlah penafsiran dari surat An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan denganzhahir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil-dalil baik dari al-qur’an maupun hadits-hadits shahih yang ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias dipakai sebagai dalil.
3. Dalil mereka dengan Surat al-baqarah ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.
Jawab : Kata-kata “laha maa kasabat” menurut ilmu balaghah tidak mengandung unsur hasr (pembatasan). Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang ia usahakan”. Kalaulah artinya demikian ini, maka kandungannya tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan : “Seseorang akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan memperoleh harta dari pusaka orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan para sahabatnya. Lain halnya kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasan) seperti umpamanya :
“laisa laha illa maa kasabat”
“Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang ia usahakan”.
4. Dalil mereka dengan surat yasin ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak akan didhalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”
Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat syarah thahawiyah hal. 456).
(ringkasan dari Buku argumentasi Ulama syafi’iyah terhadap tuduhan bid’ah,Al ustadz haji Mujiburahman, halaman 142-159, mutiara ilmu)
Semoga menjadi asbab hidayah bagi Ummat
Admin
http://salafytobat.wordpress.com/
(Insya Alloh bersambung…)
baca link <<<>>>
Juga yg satu ini
Tulisan ini dikirim pada pada Jumat, Juli 6th, 2007 12:49 am dan di isikan dibawah Aqidah & Ahlaq, Bahtsul Masail & Konsultasi, Fiqih & Ushul Fiqih. Anda dapat meneruskan melihat respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. r Anda dapat merespon, or trackback dari website anda.
33 Responses to “Tahlilan/Kenduri Arwah, Mana dalilnya?”
1. bossnya mengatakan:
Agustus 16, 2008 pukul 8:48 am
mas, minta izin untuk di copy paste di blog ku, semoga banyak memberi manfaat. amiin
Balas
2. Asy-Syifa mengatakan:
Agustus 17, 2008 pukul 6:32 am
Monggo silahkan Mas, iya smoga ada manfa’atnya……
Balas
3. uden mengatakan:
November 4, 2008 pukul 2:15 am
itu dalil tuk yang lain bukan untuk tahlilan. beramal meski pakai dalil yang kuat. bukan dalil untuk menguatkan amal (ngadalilan amal). terima kasih
Balas
4. Asy-Syifa mengatakan:
November 4, 2008 pukul 3:11 am
Buat P Uden yth. Semoga Alloh SWt melimpahkan taupik & Kebahagian duni & akhirat kpd Bpk. Saya sanyat setuju dengan ungkapan Bpk ” beramal meski pakai dalil yang kuat. bukan dalil untuk menguatkan amal (ngadalilan amal)” makanya kami memberikan dalil2 kuat di artikel ini dengan jelas, silahkan Bpk buka & teliti lg isi-nya jangan sekedar membaca judul saja supaya lebih adil.
Juga selain beramal harus menggunakan dalil yg kuat….dst, seperti yg Bok tulis, alangkah lbh baik kalau menyanggah pendapat orang lain terutama Ulama(ijma Ulama) harus dengan menggunakan dalil pula…. alangkah baiknya Bpk Mengutarakan dalil2 tsb.
Terimakasih atas komenta Bpk dan km mohon maaf yg sebesar2-nya bila ada kata2 yg kurang berkenan di hati. Semoga Allos SWT selalu memberikan Taufik & Hidayah-Nya kepada kita semua.
Wassalamu ‘alaikum Wr. WB.
Balas
5. Otek10 mengatakan:
November 9, 2008 pukul 3:52 am
Terima kasih atas penjelasannya.
Ini bisa ngebantu saya buat ngasih tau orang yang suka masalahin perkara ni.
wassalam…
Balas
6. Asy-Syifa mengatakan:
November 10, 2008 pukul 1:29 am
W ‘alaikum slm Wr. Wb.
Semoga bisa bermanfaat….
Balas
7. agung pinilih mengatakan:
Maret 6, 2009 pukul 1:59 pm
Assalamu’alaikum yaa Habib. Semoga panjenengan selalu dirahmati Alloh. Semoga diberi umur panjang yang barokah, karena langkah panjenengan selalu kami nanti dan kami rindukan. semoga segera bisa bertemu lagi dengan panjenengan, karena waktu di Malang ahad kemarin, saya belum sempat mencium asto panjenengan. saya rindu sekali dengan panjenengan. saya juga rindu dengan almarhum habib anis. tapi saya belum pernah ke solo. kapan ya saya bisa ke sana? semoga Alloh segera mengirim saya ke solo untuk berjumpa dengan panjenengan dan dzuriatnya habib Anis serta ziarah ke makam beliau. Wasalam
Balas
8. pak bambang mengatakan:
September 11, 2009 pukul 5:15 pm
Dengan membaca dalil-dalil di atas, muncul pertanyaan: darimana ketentuan tahlilan pada 7 hari, 40 hari, 100 hari (nyatus), 1000 hari (nyewu)? Kenapa tidak setiap hari sepanjang masa, bukankah itu akan lebih baik, karena bisa lebih meringankan mayit.
Balas
9. Asy-Syifa mengatakan:
September 14, 2009 pukul 7:43 am
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Silahkan Pak Bangbang klik link di bawah ini, mudah2n bisa menjawab pertanyaan Bpk.
http://salafytobat.wordpress.com/2008/07/31/dalil-tentang-tahlilan-riwayat-thawus-al-yamani-tabiin/
Balas
10. mardjono mengatakan:
Oktober 22, 2009 pukul 10:46 am
Assalamu ‘alaikum wr wb
Ikut copy untuk pegangan dan menambah wawasan saya semoga bermanfaat untuk hidup saya
dan menjadikan hidup saya baik dan tidak menjadi taklid buta.
Balas
11. Zainurrahman mengatakan:
November 6, 2009 pukul 1:27 am
Assalamualaikum,
Tahlilan dan Ziarah kubur “koq” kebanyakan muslim yang kabarnya “memurnikan Islam” dianggap sebagai bid’ah. Mereka beralasan bahwa tahlilan tidak diadakan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW. Saya heran, mereka ini taqlid buta-butaan aja. Mereka sebenarnya tidak mengerti hakikat perbuatan, tidak memahami Allah dan bahkan tidak mengerti perbuatannya sendiri. Mereka menganggap Allah seperti “ATM” dan “HANDPHONE” yang salah tekan PIN uang nggak keluar, dan salah tekan nomor maka salah kirim deh… Saya sudah menyampaikan kepada beberapa orang dekat yang taqlid buta seperti itu, tetapi mereka sepertinya “masih anak-anak” untuk bisa memahami lebih jauh lagi…
Dari: Umang, anggota Majelis Dzikir Aljabbar Ternate
http://majelisaljabbar.wordpress.com
Saya minta isi halaman ini untuk ditaruh di blog majelis kami. Syukran….
Balas
12. Asy-Syifa mengatakan:
November 8, 2009 pukul 3:52 am
Wa ‘alaikum slm.
Silahkan Akh….!
Balas
13. ananda saputra mengatakan:
Desember 29, 2009 pukul 4:05 am
Allaju akbar, ini yang saya cari referensinya,terimakasih ustadz
Balas
14. Widodo mengatakan:
Januari 18, 2010 pukul 2:52 am
Sebagus-bagus amal perbuatan adalah yg sudah dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Kalau antun mengimani “hadis mursal marfu” ya monggo itu hak kalian.
Pertanyaan: Apakah ada yang kurang dari Al-qur’an dan Al-Hadist Nabi sehingga antum mengimani hadist2 selainnya?
Balas
15. Asy-Syifa mengatakan:
Januari 18, 2010 pukul 3:09 am
AlhamduliLlah jelas sekali dilil2 diatas adalah dalil dari Al-Qur’an & Al Hadits yg Insya Alloh sanad muttasil sampai k Nabi SAW, dan kami lebih memilih apa kata Al-Qur’an dan Al Hadits dari pada kata2 golongan/sekte/aliran baru yg banyak di blog2 ataupun alamat website2 yg marak saat ini.
Balas
16. Nana Ade Sugiana mengatakan:
Januari 23, 2010 pukul 7:52 am
Assalamu ‘alaikum
Mohon izin untuk meng copy paste ke halaman pribadiku untuk memberi pencerahan kepada sahabat-sahabatku yang lagi gelisah karena amalan ibadahnya dianggap Bid’ah oleh orang yang mengatasnamakan salafi. Wassalam.
Balas
17. Asy-Syifa mengatakan:
Januari 25, 2010 pukul 1:36 am
Wa ‘alaikum slm Wr. Wb.
Silahkan Akhi, mdh2n bermanfaat!
Balas
18. sandhi mengatakan:
Januari 26, 2010 pukul 3:32 am
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa bacaan atau amalan yang pahalanya dikirimkan/dihadiahkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai kepada si mayit. Lihat: Takmilatul Majmu’ Syarah Muhadzab 10:426, Fatawa al-Kubro al-Fiqhiyah (al-Haitsami) 2:9, Hamisy al-Umm (Imam Muzani) 7:269, al-Jamal (Imam al-Khozin) 4:236, Tafsir Jalalain 2:19, Tafsir Ibnu Katsir ttg QS. An-Najm : 39, dll.
Imam An-Nawawi رحمه الله berkata di dalam Syarah Muslim 1: 90:
“Adapun bacaaan Al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang mashyur dalam madzhab Syafi’i, adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi. Adapun dalil Imam Syafi’i dan pengikutnya adalah firman Allah QS.An-Najm : 39: “Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri” dan , “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslahsabda Rasulullah amal usahanya, kecuali tiga hal yaitu: sedakah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang berdoa untuknya.”
Balas
o jang dadang mengatakan:
Januari 27, 2010 pukul 2:17 am
Om Sandhi sy rasa pendapat-pendapat Ulama besar yg Om ketik ato kt admin mah COPY-PASTE, kayanya blum tuntas sampe titik (intaha) kok dipotong-potong gitu, Insya Allah kami Ahlus Sunnah ngga bisa ditipu dgn tulisan anda dari potongan2 pendapat Ulama di atas krn km sdh baca ungkapan2 Ulama besar panutan kami diatas s.d “Intaha”
Baiknya mah kalo pingin ngajak orang lain ikut sekte/golongan/pendapat anda, jangan pake cara2 kotor dgn memotong-motong Ayat Quran / Hadits utk menguatkan pendapat hawa nafsunya….! Kagak akn laku cara2 gitu mah Om…! percaya dech
Mf y kalo salah ucap
Balas
19. sandhi mengatakan:
Januari 26, 2010 pukul 3:35 am
Lihat juga: Raudhatut Thalibin, Imam An-Nawawi 2:145, Mughnil Muhtaj 1: 268, Hasyiyatul Qalyubi 1: 353, Al-Majmu’ Syarah Muhadzab 5: 286, Al- Fiqhu Alal Madzahibil Arba’ah 1:539, Fathul Qadir 2:142, Nailul Authar 4:148. Berkata Imam Asy-Syafi’i رحمه الله di dalam Al-Umm 1: 248:
“Aku membenci ma’tam, yaitu berkumpul-kumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru.”
Lebih lanjut di Kitab I’anatut Thalibin, Syarah Fathul Mu’in, juz 2, hal.145 – Kitab rujukan para Nahdliyyin dan NAHDLATUL ULAMA (NU) disebutkan:
“Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk BID’AH MUNGKARAT YANG BAGI OANG YANG MEMBERANTASNYA AKAN DIBERI PAHALA.”
Balas
20. Asy-Syifa mengatakan:
Januari 27, 2010 pukul 1:35 am
Terima kasih atas komentar/pendapat/copy-paste Sdr Sandhi, mf komentar2 seperti saudara kami sudah baca di banyak blog yg sefaham dgn sdr dan juga sdh banyak dijawab dgn jawaban yg sngat jelas.
Sebelumnya apa Sdr memiliki kitab2 yg antum sebutkan itu (kitab2 Asy-Syafiiyyah)? Kalo memiliki, apa sdh baca teks dr kitab2 yg Antum sebutkan tsb secara tuntas tdk dgn memotong-motong ungkapan Ulama ataupun menyembunyikan ungkapan2 selanjutnya atau sebelumnya?
Kalo benar anda memilikinya & sdh baca keseluruhannya, kok knapa ya beda dgn ktb2 yg kami miliki (ktb2 yg antum sebutkan banyak)? kok tdk seperti yg anda “Copy-paste”-kan di komentar ini?
Afwan, Ana hnya ngasi saran, sebagai mana yg sekte/golongan antum gembor-gemborkan “DILARANG KERAS TAQLID BUTA” knapa antum sendiri berpendapat dgn “Copy-Paste” apa bedanya TAKLID BUTA DGN cOPY-pASTE? Alangkah baik nya antum baca teks asli dr ktb2 yg antum sebutkan di atas, kalo pun blum punya ktbnya, bisa pinjam kan? kalo sdh pinjam & blum lancar baca, bisa kan antum minta tolong bacain sm Ust/siapa sj yg memahami “logotul Aroby” dgn baik & benar, baca sampai tuntas! jangan sepotong-sepotong! Insya Alloh Antum akan menangkap & memahami scr berimbang.
Mohon maaf bila ada kt2 yg berlebihan, semoga kita semua ditunjukan oleh Alloh SWT kpd pemahaman yg benar & lurus menurut Alloh SWT, bukan benar menurut hawa nafsu! Amiin.
lbh jelasnya:
http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=&func=view&catid=8&id=5366&lang=id
http://nabimuhammad.wordpress.com/tahlilan/
Balas
21. sandhi mengatakan:
Januari 29, 2010 pukul 2:21 am
Alhamdulillah saya punya kitab2 itu karena memang saya ngajinya juga di NU. Selain itu saya juga punya kitab kumpulan fatwa itu. Dan alhamdulillha saya juga tidak copy paste semata.
Mengenai perbedaan itu, tergantung dari mana penerbitnya. Karena masing2 penerbit memiliki halaman yang berbeda. Tetapi lebih baik anda baca di bab2 janaiz.
Apa yang saya tulis hanyalah untuk meng-clearkan anggapan orang sekaligus me-recall kembali ingatan kita bahwa Kyai-kyai kita telah memperingatkan bahwasanya Selamatan Kematian itu adalah Bid’ah Madzmumah yang terangkum di dalam Fatwa Muktamar Nahdlatul Ulama ke I. Jadi tidak ada yang salah dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa itu adalah Bid’ah bahkan bukan Bid;ah Hasanah seperti terlihat pada fatwa Mukatamar NU tersebut.
Silahkan Anda merujuk kepada Fatwa Muktamar NU tersebut, niscaya Anda akan dapatkan apa adanya tanpa dipotong-potong. Silakan pesan bukunya di penerbit Khalista atau PWNU LTN Jatim.
Selain itu sayapun punya buku kumpulan fatwa NU yang diterbitkan di tahun 1950-an. Jadi silakan lihat lagi, supaya tidak berkepanjangan di dalam masalah ini.
Adapun pendapat Imam Asy-Syafii tersebut saya tidak sepakat secara mutlak. Tetapi masih ada ruang untuk sampainya pahala kepada si mayit. Seperti: shodaqah, puasa, haji dan tentumya doa.
Balas
o Asy-Syifa mengatakan:
Februari 1, 2010 pukul 1:47 am
sebelumnya kami telah mengomentari pendapat Sdr Shandi tentang kitab2 Ulama Asy-Syafiiyah yg sdr nukil secara sepotong-sepotong & alhamdulillah di alenia terakhir komentar sdr
“Adapun pendapat Imam Asy-Syafii tersebut saya tidak sepakat secara mutlak. Tetapi masih ada ruang untuk sampainya pahala kepada si mayit. Seperti: shodaqah, puasa, haji dan tentumya doa.”
sdr scr tdk langsung besikap jantan & ksatria mengakuinya, maka kami salut dgn sikap sdr, berarti sy rasa sdh clear msl pendapat Ulama Asy-syafiiyah bahwa itu tdk seperti yg sdr tulis karena memang nukilan Sdr tsb tdk tuntas.
Kemudian Sdr mengalihkan perhatian dgn berdalil mengatas-namakan Fatwa NU yg kita tau NU merupakan Ormas Islam terbesar d Indonesia bahkan konon di dunia, maaf kalau sy slh (krn sy bukan anggota NU/Muhamadiyah/Persis dll tp sy punya banyak teman & saudara yg sy kagumi & hormati di NU/Muhamadiyah/Persis). Terserah itu hak Sdr, tp yg sy tau dr sodara2 d NU yg menjadi pengurus, belum pernah ada muktamar/kesepakatan pengharaman “TAHLILAN” secara ‘IJMA. Kita tdk bisa menutup mata, kaum “Nahdiyyin” adalah kaum yg selalu istiqomah dlm pengamalan “TAHLILAN”. Saya rasa Saudara kita kaum Nahdiyin lebih faham dgn Fatwa2 Ulamanya dari pada Sdr Shandi.
Analogi sederhanaya begini: Yg lebih mengenal orang tua saya adalah saya sendiri sbg anaknya dibanding dgn Sdr, ktemu sj blum apalagi kenal.
Sadarlah wahai saudaraku Shandi, kami tidak mempermasalahkan apakah anda sepakat dgn kami atau tdk, yg penting walaupun beda pendapat, alangkah indahnya Antum bisa menghormati pendapat Muslimin yg lain? Anda punya pendapat, muslim yg lain pun punya pendapat. Antum punya guru, yg lain pun sama. Antum punya Sanad, yg lain pun memiliki sandad yg muttasli kpd Rasullulloh SAW. Antum menginginkan keselamatan dunia & akhirat dgn meyakini & menjalankan apa yg sekaran Antum yakini, demikian juga orang lain yg berbeda pendapat dgn Antum, sm2 mengharapkan keselamatan dunia & akherat dgn berusaha ittiba kpd AL-Qur’an & Hadits Nabi SAW dgn pemahaman Salafus-Shalih.
Sy juga merasa sedih saudara2 sy d NU/Muhamadiyyah/Persis dll yg dulu akur hidup rukun, tp setelah ada aliran baru yg “ANEH” sekarang jd timbul perpecahan, dgn dalih “PERSATUAN UMAT DGN PEMURNIAN AQIDAH” ttp setelah ditelita malah “PERPECAHAN UMAT DGN PENCAMPURAN AQIDAH”. LAHAWLA WA LAA QUWWATA, WA KAFAA BILLAHI NASHIROO…!
RasuluLloh SAW mengajarkan dakwah yg santun & Rahmatan Lil alamin (bil lati hiya ahsan) bukan dgn cr memecah belah umat apalagi memfitnah pendapat ulama2 mu’tabar RA.
Saya mohon maaf bila (atau pun bahkan) memang kata2 sy kurang berkenan, sebenarnya saya tdk mau memperpanjan masalah ini, motifasi kami menulis artikel diatas hanyalah utk orang2 yg biasa mengamalkan “TAHLILAN” supaya setiap amalan2 itu ada dasar hukumnya (Al-Qur’an, Hadits, Ijma Ulama & Qiyyas). Terserah saudara2 kami yg lain yg tdk sependapat, itu hak beliau2 asalkan saling menghormati tdk saling menghujat. Tdk ada hujatan kpd pihak yg besebrangan yg ditulis di artikel ini.
Akhirnya sekali lg, sy mengajak Saudara2 utk bersikap bijak & lapang dada dlm menyikapi khilafiyah Furuiyyan yg belum ada ijma Ulama ttng haram/tdknya. Sedangkan sikap sombong, suudzon, menyakiti/menghina sesama muslim, saling menyesatkan atau bahkan mengkafirkan itu semua Sepakat dlm Al-Qur’an, Hadits & Ijma Ulama adalah haram hukumnya.
BiLlahit Taufiq wal Afwuminkum
Balas
22. sandhi mengatakan:
Januari 29, 2010 pukul 2:23 am
Saya persilahkan Anda dapatkan dan cari buku ini :
Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), hal. 15-17, Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
Balas
23. sandhi mengatakan:
Januari 29, 2010 pukul 2:34 am
Buat mas Jajang Dadang janganlah berpikir seperi pedagang. Karena dakwah itu tidak untuk dijual belikan atau diperdagangkan, Kang Jajang Pedagang.
Silakan Anda rujuk kitab-kitab itu sendiri. Apa yang saya tulis juga merupakan apa yang termaktub dalam Keputusan Masalah Diniyah Muktamar Nahdlatul Ulama ke I.
Dan saya sudah cocokkan dengan referensi kitab yang ditunjukkan oleh Muktamar tersebut. Jika memang Anda tidak sepakat dengan “jualannya” (versi pedagang) Muktamar NU itu silahkan.
Dan saya persilakan juga Anda cari dan dapatkan buku (maaf, saya tidak sedang jualan/lastu pedagang), tetapi NU Jatim menjual buku ini) :
Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), hal. 15-17, Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
Apa yang saya tulis ada di situ. Sekaligus saya juga bermaksud agar kita me-recall kembali ingatan kita bahwa pendapat bid’ah atas acara selamatan kematian telah difatwakan oleh kyai-kyai kita sendiri dalam Muktamar tersebut. Dan bukan pula bid’ah hasanah tetapi Bid’ah Madzmumah (Bid’ah Tercela).
Semoga Anda semua dapat lapang dada dengan isi keputusan tersebut. (Dulu, saya juga sesak mendapati hal ini).
Jadi dengan demikian sebenarnya kita dapat mengakhiri polemik ini. Sekian. Jazakumullah Khoiron.
Balas
o Asy-Syifa mengatakan:
Maret 23, 2010 pukul 3:04 am
Tambahan buat yg menyebarkan isu/fitna yg mengatas namakan Muktamar NU dan mengaku memiliki buku asli hasil Muktamar tsb & sdh membaca tuntas membacanya serta sdh merecek dll (di nuqil darihttp://www.facebook.com/posted.php?id=316498805206&share_id=111434982202351&comments=1#!/topic.php?uid=316498805206&topic=12779 ):
بسم الله الرّحمن الرّحيم
الحمد لله ربّ العا لمين و به نستعين على أمور الدّنيا والدّين
والصّلاة والسّلام على أشرف الانبياء والمرسلين حبيبنا و شفيعنا و مولانا محمّد صلّى الله عليه و سلّم و على اله و صحبه و ازواجه وذرّيّاته ومن تبعه الى يوم الدّين
امين
امّا بعد
Sungguh ironis cara-cara wahaby dalam mencari pengikut, tidak segan-segan lagi kini mereka memelintir hasil Bahtsul Masaail Nahdhlotul ‘Ulama prihal Tahlilan. Seolah-olah merekalah yang paling tahu tentang warga NU. Sungguh lucu prilaku mereka ini. Mereka hendak mewahabykan ahlussunnah wal jama’ah di Indonesia dengan menghalalkan tipu daya (tahrif). Seandainya mereka memang adalah Islam, islam macam apakah mereka ini karena telah menghalalkan menipu publik dalam dakwahnya.
——————————————————————————————————————————
Fakta:
Post #1
Luqmanul Hakim Effendi wrote10 hours ago
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
@ All member :
Tafadhol di cek & ricek (tabayyun) tentang kebenaran fatwa2 yang konon dikeluarkan NU berikut ini.
Jika pernyataan2/fatwa2 tsb benar dikeluarkan NU :
a. mengapa ‘ulama2 NU jaman sekrg malah mengerjakan yg dilarang guru2nya & dilarang para pendiri NU?
b. apakah NU termasuk wahabi?
Terima kasih atas pencerahannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
-luqman-
1. MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) Ke-1 di Surabaya
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 M.
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya ?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu.
KETERANGAN :
Dalam kitab: 1. I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz, 2. Al Fatawa al Kubra.
———————————————————————————————————————————
Perhatikanlah cara mereka memojokkan kaum Nahdlhliyyien, di awal kalimatnya seolah-olah sangat manis dan santun, walhal dibalik hatinya wallaaHu a’lam… lihatlah di Seandainya hasudan berbentuk pertanyaan ini tidak dicounter maka niscaya dikhawatirkan orang awam akan berfikir bahwa yang ditulis sang penanya adalah sebuah fakta
Perhatikanlah pula, pertanyaan-pertanyaan bermakna sindiran halus ini
a. mengapa ‘ulama2 NU jaman sekrg malah mengerjakan yg dilarang guru2nya & dilarang para pendiri NU?
b. apakah NU termasuk wahabi?
Sebelum ana menjawab pertanyaan pria yang sangat sopan ini, sebelumnya ana hendak menekankan pada wahabian lainnya yang akan mengutip Hasil bahtsul Masaail Nahdlhotul ‘Ulama agar kiranya mengutipnya secara lengkap tanpa mengeditnya terlebih dahulu, agar jelas perkara yang haq dan yang baathil, dan agar tidak menimbulkan fitnah bagi yang hendak bertanya..
—————————————————————————————————————————–
Sekarang izinkanlah ana memposting potongan hasil Muktamar yang selengkapnya :
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG…
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
————————————————————————————————————————
Bandingkanlah dengan postingan sang penanya.
Perhatikanlah bahwa pertanyaan dan jawaban sangat berbeda dengan versi aslinya, si penanya menghilangkan kalimat “sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu”. Terlihat jelas bahwa ada usaha mendeskriditkan para pecinta tahlilan dengan cara licik.
Dan jelas tertulis disitu bahwa yang dimakruhkan adalah mengkhususkan waktu berkumpulnya, bukan proses berkumpulnya, dan bukan pula pada sedekahnya. Hal ini dapat mengakibatkan kesalah fahaman bila kita hanya mebacanya sekilas, terlebih apabila kalimat “sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu” dihilangkan. Entah untuk tujuan apa. Wallahu a’lam bis showaab.
Semua Nahdlhiyyin juga tahu bahwa kesunnahan Tahlilan terletak pada isi yang terdapat didalam acara tersebut. Apabila tahlilan tersebut hanya diisi acara ngobrol-ngobrol tidak jelas apalagi berisi gossip (khususnya menggosip kaum anti tahlil) tentunya ini adalah haram. Akan tetapi kesunnahan acara tahlilan adalah terletak pada lantunan dzikir, ayat-ayat qur’an, dan do’a-do’a yang dibacakan orang-orang yang berkumpul tersebut, yang mana kesemua pahala bacaan tersebut diniatkan bagi yang sudah wafat.
Ada lontaran yang menarik dari para kalangan yang anti tahlilan, mereka mengutarakan bahwa kenapa mendoakan orang yang sudah wafat harus dengan tahlilan, bukankah berdoa bisa kapan saja. Sebenarnya asumsi ini cukup menggelitik ana, mereka mengakui sendiri kalau mendoakan orang yang sudah mati bisa kapan saja, lantas mengapa tidak bisa di saat tahlilan??? Mereka ini seolah-olah menuduh secara tidak langsung jikalau orang yang tahlilan hanya mendoakan orang tuanya atau sanak familinya yang sudah wafat di saat tahlilan saja. Sungguh logika mereka menyalahi fakta sesunguhnya yang ana tahu prihal kalangan yang tidak anti tahlilan.
Prihal sedekah makanan, kemakruhan terjadi apabila niat sedekah makanan itu adalah untuk meratapi si mayyit,
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN ( YANG DILARANG ).”
akan tetapi kemakruhan tersebut tidak berlaku apabila makanan yang disuguhkan tersebut diniatkan untuk memuliakan para tamu yang ikut mendoakan dalam acara tahlilan tersebut.
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا الإسْلَامُ قَالَ طِيْبُ الْكَلَامِ وَإطْعَامُ الطَّعَامِ. رواه أحمد
Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya Acara tahlilan, biasanya berisikan acara pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dzikir(Tasbih, tahmid, takbir, tahlil, istighfar, dll), Sholawat dan lain sebagainya yg bertujuan supaya amalan tsb, selain untuk yang membacanya juga bisa bermanfaan bagi si mayit.
Berikut kami sampaikan beberapa dalil yang menerangkan sampainya amalan tsb (karena keterbatasan ruang & waktu maka kami sampaikan sementara dalil yg dianggap urgen saja, Insya Alloh akan disambung karena masih ada beberapa dalil hadits & pendapat ulama terutama ulama yang sering dijadikan sandaran sodara kita yg tidak menyetujui adanya acara tahlilan diantaranya pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Imam As-Saukani dll..
DALIL SAMPAINYA AMALIYAH BAGI MAYIT
1. Dalil Alqur’an:
Artinya:” Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a :” Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
2. Dalil Hadits
a. Dalam hadits banyak disebutkan do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan do’a ziarah kubur.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:” Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW – setelah selesai shalat jenazah-bersabda:” Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).
Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda:” mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW:
Artinya:” bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW menjawab, “Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya –insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
b. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit
Artinya: Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya:” Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).
c. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Saum
Artinya: Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya”(HR Bukhari dan Muslim)
d. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji
Artinya:Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya:” Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya ? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
3. Dalil Ijma’
a. Para ulama sepakat bahwa do’a dalam shalat jenazah bermanfaat bagi mayyit.
b. Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda:
Artinya:” Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
4. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya.
Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan dan niat.
Adapun dalil yang menerangkan shadaqah untuk mayit pada hari-hari tertentu seperti hari ke satu, dua sampai dengan ke tujuh bahkan ke-40 yaitu hadits marfu’ mursal dari tiga orang tabi`ien yaitu Thaus, Ubaid bin Umair dan Mujahid yang dapat dijadikan qaid kepada hadits-hadits mutlak (tidak ada qaid hari-hari untuk bershadaqah untuk mayit) di atas:
a. Riwayat Thaus :
Bahwa orang-orang mati itu akan dilakukan fitnah di dalam quburan mereka tujuh hari. Maka adalah mereka itu menganjurkanuntuk memberi shadaqah makanan atas nama mereka selama hari-hari itu.
b. Sebagai tambahan dari riwayat Ubaid bin Umair:
Dilakukan fitnah qubur terhadap dua golongan orang yaitu orang mukmin dan orang munafiq. Adapun terhadap orang mukmin dilakukan tujuh hari dan terhadap orang munafiq dilakukan 40 hari.
c. Ada lagi tambahan dalam riwayat Mujahid yaitu
Ruh-ruh itu berada diatas pekuburan selamatujuh hari, sejak dikuburkan tidak memisahinya.
Kemudian dalam beberapa hadits lain menyatakan bahwa kedua malaikat Munkar dan Nakir itu mengulangi pertanyaan-pertanyaan tiga kali dalam satu waktu. Lebih jelas dalam soal ini dapat dibaca dalam buku “Thulu’ ats-tsuraiya di izhaari makana khafiya” susunan al Imam Suyuty dalam kitab “ Al-Hawi lil fatawiy” jilid II.
Riwayat Thaus klik…
Wallohu a’lam bi shawwab.
Tambahan:
Sampainya Hadiah Bacaan Al-qur’an untuk mayyit (Orang Mati)
A. Dalil-dalil Hadiah Pahala Bacaan
1. Hadits tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 :
“ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah”
Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padaha imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut pengingkarannya itu. (mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25).
Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang dating padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap negeri, mereka membaca al-qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah meninggal, maka jadialah ia ijma . (Yasaluunaka fid din wal hayat oleh syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan
“ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar dibaca keatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat albaqarah dan akhirnya”
Hadits ini agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang pertama itu adalah wasiat seadangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
3. Hadits Riwayat darulqutni
“Barangsiapa masuk kepekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi
“ Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
(Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika mati salah seorang dari kamu, maka janganlah menahannya dan segeralah membawanya ke kubur dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya”.
6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban:
“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda: “Bacakanlah surat yaasin untuk orang yang telah mati diantara kamu”.
B. Fatwa Ulama Tentang Sampainya Hadiah Pahala Bacaan kepada Mayyit
1. Berkata Muhammad bin ahmad al-marwazi :
“Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan…” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
2. Berkata Syaikh aIi bin Muhammad Bin abil lz :
“Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).
3. Berkata Ibnu taymiyah :
“sesungguhnya mayyit itu dapat beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan seumpamanya”. (yas alunka fiddin wal hayat jilid I/442).

Di atas adalah kitab ibnu taimiah berjudul majmuk fatawa jilid 24 pada mukasurat 324. Ibnu taimiah ditanya mengenai seseorang yang bertahlil, bertasbih,bertahmid,bertakbir dan menyampaikan pahala tersebut kepada simayat muslim lantas ibnu taimiah menjawab amalan tersebut sampai kepada si mayat dan juga tasbih,takbir dan lain-lain zikir sekiranya disampaikan pahalanya kepada si mayat maka ianya sampai dan bagus serta baik.
Manakala Wahhabi menolak dan menkafirkan amalan ini.

Di atas pula adalah kitab ibnu tamiah berjudul majmuk fatawa juzuk 24 pada mukasurat 324.ibnu taimiah di tanya mengenai seorang yang bertahlil 70000 kali dan menghadiahkan kepada si mayat muslim lantas ibnu taimiah mengatakan amalan itu adalah amat memberi manafaat dan amat baik serta mulia.
4. Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah:
“sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya (yasaaluunaka fiddin wal hayat jilid I/442)
Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah dalam kitabnya Ar-ruh : “Al Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-qur’an disamping kubur” berkata : Menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad ad-dauri, menceritakan kepada kami yahya bin mu’in, menceritakan kepada kami Mubassyar al-halabi, menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan surat al-baqarah disamping kepalaku karena seungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian.
Ibnu qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama : “Mengabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad bin al-warraq, menceritakan kepadaku Ali-Musa Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit dimakamkan, seorang lelaki kurus duduk disamping kubur (sambil membaca al-qur’an). Melihat ini berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhnya membaca al-qur’an disamping kubur adalah bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam Muhammad bin qudamah kepada imam ahmad bin Hanbal : “Wahai abu abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi?. Imam Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, mengabarkan kepadaku Mubasyar dari Abdurahman bin a’la bin al-laj-laj dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya permulaan surat al-baqarah dan akhirnya dan dia berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat yang demikian itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan (Kitab ar-ruh, ibnul qayyim al jauziyah).
5. Berkata Sayaikh Hasanain Muhammad makhluf, Mantan Mufti negeri mesir : “ Tokoh-tokoh madzab hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-qur’an atau selain demikian daripada macam-macam kebaikan, boleh baginya menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya.
6. Imam sya’bi ; “Orang-orang anshar jika ada diantara mereka yang meninggal, maka mereka berbondong-bondong ke kuburnya sambil membaca al-qur’an disampingnaya”. (ucapan imam sya’bi ini juga dikutip oleh ibnu qayyim al jauziyah dalam kitab ar-ruh hal. 13).
7. Berkata Syaikh ali ma’sum : “Dalam madzab maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Menurut dasar madzab, hukumnya makruh. Namun ulama-ulama mutakhirin berpendapat boleh dan dialah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bahwa pendapat inilah yang kuat”. (hujjatu ahlisunnah wal jamaah halaman 13).
8. Berkata Allamah Muhammad al-arobi: Sesungguhnya membaca al-qur’an untuk orang-orang yang sudah meninggak hukumnya boleh (Malaysia : Harus) dan sampainya pahalanya kepada mereka menurut jumhur fuqaha islam Ahlusunnah wal-jamaah walaupun dengan adanya imbalan berdasarkan pendapat yang tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi rosail).
9. Berkata imam qurtubi : “telah ijma’ ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang yang sudah mati, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan al-qur’an, doa dan istighfar karena masing-masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits : “Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebaikan adalah sedekah)”. (Tadzkirah al-qurtubi halaman 26).
Begitu banyaknya Imam-imam dan ulama ahlusunnah yang menyatakan sampainya pahala bacaan alqur’an yang dihadiahkan untuk mayyit (muslim), maka tidak lah kami bisa menuliskan semuanya dalam risalah ini karena khawatir akan terlalu panjang.
C. Dalam Madzab Imam syafei
Untuk menjelaskan hal ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafei dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafei berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….”
Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam Madzab syafei menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan terbut. Dan seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa denagn sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih utama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai.
Dalam menanggapai qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :
“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzab syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”.
Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan samapainya pahala bacaan itu kepadanya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya”.
Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk simayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).
D. Dalil-dalil orang yang membantah adanya hadiah pahala dan jawabannya
1. Hadis riwayat muslim :
“Jika manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya”
Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu (terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar utang itu miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah memperoleh manfaat (intifa’) dari orang lain.
2. Firman Allah surat an-najm ayat 39 :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap digunakannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara jawaban-jawaban itu adalah :
a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut :
1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta dan suka padanya. Maka banyaklah orang-orang itu yang menyayanginya. Merekapun berdoa untuknya dan mengahadiahkan pula pahala dari ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dari usahanya sendiri. Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain didalam ikatan islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal sampainya kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin kepada yang lainnya baik didalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin yang lain. Dalam satu penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya dan kaum mukminin sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).
2. Ayat al-qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu hanya menafikan “kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah SWT hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri). Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).
Demikianlah dua jawaban yang dipilih pengarang kitab syarah thahawiyah.
b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam (umat Nabi Muhammad SAW), maka mereka bias mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain”.
Jadi ayat itu menerangkan hokum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam menafsirkan ayat tersebut :
“ ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam sorga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya, berarti sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.
d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata : “Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianlah penafsiran dari surat An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan denganzhahir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil-dalil baik dari al-qur’an maupun hadits-hadits shahih yang ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias dipakai sebagai dalil.
3. Dalil mereka dengan Surat al-baqarah ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.
Jawab : Kata-kata “laha maa kasabat” menurut ilmu balaghah tidak mengandung unsur hasr (pembatasan). Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang ia usahakan”. Kalaulah artinya demikian ini, maka kandungannya tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan : “Seseorang akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan memperoleh harta dari pusaka orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan para sahabatnya. Lain halnya kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasan) seperti umpamanya :
“laisa laha illa maa kasabat”
“Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang ia usahakan”.
4. Dalil mereka dengan surat yasin ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak akan didhalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”
Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat syarah thahawiyah hal. 456).
(ringkasan dari Buku argumentasi Ulama syafi’iyah terhadap tuduhan bid’ah,Al ustadz haji Mujiburahman, halaman 142-159, mutiara ilmu)
Semoga menjadi asbab hidayah bagi Ummat
Admin
http://salafytobat.wordpress.com/
(Insya Alloh bersambung…)
baca link <<<>>>
Juga yg satu ini
Tulisan ini dikirim pada pada Jumat, Juli 6th, 2007 12:49 am dan di isikan dibawah Aqidah & Ahlaq, Bahtsul Masail & Konsultasi, Fiqih & Ushul Fiqih. Anda dapat meneruskan melihat respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. r Anda dapat merespon, or trackback dari website anda.
33 Responses to “Tahlilan/Kenduri Arwah, Mana dalilnya?”
1. bossnya mengatakan:
Agustus 16, 2008 pukul 8:48 am
mas, minta izin untuk di copy paste di blog ku, semoga banyak memberi manfaat. amiin
Balas
2. Asy-Syifa mengatakan:
Agustus 17, 2008 pukul 6:32 am
Monggo silahkan Mas, iya smoga ada manfa’atnya……
Balas
3. uden mengatakan:
November 4, 2008 pukul 2:15 am
itu dalil tuk yang lain bukan untuk tahlilan. beramal meski pakai dalil yang kuat. bukan dalil untuk menguatkan amal (ngadalilan amal). terima kasih
Balas
4. Asy-Syifa mengatakan:
November 4, 2008 pukul 3:11 am
Buat P Uden yth. Semoga Alloh SWt melimpahkan taupik & Kebahagian duni & akhirat kpd Bpk. Saya sanyat setuju dengan ungkapan Bpk ” beramal meski pakai dalil yang kuat. bukan dalil untuk menguatkan amal (ngadalilan amal)” makanya kami memberikan dalil2 kuat di artikel ini dengan jelas, silahkan Bpk buka & teliti lg isi-nya jangan sekedar membaca judul saja supaya lebih adil.
Juga selain beramal harus menggunakan dalil yg kuat….dst, seperti yg Bok tulis, alangkah lbh baik kalau menyanggah pendapat orang lain terutama Ulama(ijma Ulama) harus dengan menggunakan dalil pula…. alangkah baiknya Bpk Mengutarakan dalil2 tsb.
Terimakasih atas komenta Bpk dan km mohon maaf yg sebesar2-nya bila ada kata2 yg kurang berkenan di hati. Semoga Allos SWT selalu memberikan Taufik & Hidayah-Nya kepada kita semua.
Wassalamu ‘alaikum Wr. WB.
Balas
5. Otek10 mengatakan:
November 9, 2008 pukul 3:52 am
Terima kasih atas penjelasannya.
Ini bisa ngebantu saya buat ngasih tau orang yang suka masalahin perkara ni.
wassalam…
Balas
6. Asy-Syifa mengatakan:
November 10, 2008 pukul 1:29 am
W ‘alaikum slm Wr. Wb.
Semoga bisa bermanfaat….
Balas
7. agung pinilih mengatakan:
Maret 6, 2009 pukul 1:59 pm
Assalamu’alaikum yaa Habib. Semoga panjenengan selalu dirahmati Alloh. Semoga diberi umur panjang yang barokah, karena langkah panjenengan selalu kami nanti dan kami rindukan. semoga segera bisa bertemu lagi dengan panjenengan, karena waktu di Malang ahad kemarin, saya belum sempat mencium asto panjenengan. saya rindu sekali dengan panjenengan. saya juga rindu dengan almarhum habib anis. tapi saya belum pernah ke solo. kapan ya saya bisa ke sana? semoga Alloh segera mengirim saya ke solo untuk berjumpa dengan panjenengan dan dzuriatnya habib Anis serta ziarah ke makam beliau. Wasalam
Balas
8. pak bambang mengatakan:
September 11, 2009 pukul 5:15 pm
Dengan membaca dalil-dalil di atas, muncul pertanyaan: darimana ketentuan tahlilan pada 7 hari, 40 hari, 100 hari (nyatus), 1000 hari (nyewu)? Kenapa tidak setiap hari sepanjang masa, bukankah itu akan lebih baik, karena bisa lebih meringankan mayit.
Balas
9. Asy-Syifa mengatakan:
September 14, 2009 pukul 7:43 am
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Silahkan Pak Bangbang klik link di bawah ini, mudah2n bisa menjawab pertanyaan Bpk.
http://salafytobat.wordpress.com/2008/07/31/dalil-tentang-tahlilan-riwayat-thawus-al-yamani-tabiin/
Balas
10. mardjono mengatakan:
Oktober 22, 2009 pukul 10:46 am
Assalamu ‘alaikum wr wb
Ikut copy untuk pegangan dan menambah wawasan saya semoga bermanfaat untuk hidup saya
dan menjadikan hidup saya baik dan tidak menjadi taklid buta.
Balas
11. Zainurrahman mengatakan:
November 6, 2009 pukul 1:27 am
Assalamualaikum,
Tahlilan dan Ziarah kubur “koq” kebanyakan muslim yang kabarnya “memurnikan Islam” dianggap sebagai bid’ah. Mereka beralasan bahwa tahlilan tidak diadakan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW. Saya heran, mereka ini taqlid buta-butaan aja. Mereka sebenarnya tidak mengerti hakikat perbuatan, tidak memahami Allah dan bahkan tidak mengerti perbuatannya sendiri. Mereka menganggap Allah seperti “ATM” dan “HANDPHONE” yang salah tekan PIN uang nggak keluar, dan salah tekan nomor maka salah kirim deh… Saya sudah menyampaikan kepada beberapa orang dekat yang taqlid buta seperti itu, tetapi mereka sepertinya “masih anak-anak” untuk bisa memahami lebih jauh lagi…
Dari: Umang, anggota Majelis Dzikir Aljabbar Ternate
http://majelisaljabbar.wordpress.com
Saya minta isi halaman ini untuk ditaruh di blog majelis kami. Syukran….
Balas
12. Asy-Syifa mengatakan:
November 8, 2009 pukul 3:52 am
Wa ‘alaikum slm.
Silahkan Akh….!
Balas
13. ananda saputra mengatakan:
Desember 29, 2009 pukul 4:05 am
Allaju akbar, ini yang saya cari referensinya,terimakasih ustadz
Balas
14. Widodo mengatakan:
Januari 18, 2010 pukul 2:52 am
Sebagus-bagus amal perbuatan adalah yg sudah dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Kalau antun mengimani “hadis mursal marfu” ya monggo itu hak kalian.
Pertanyaan: Apakah ada yang kurang dari Al-qur’an dan Al-Hadist Nabi sehingga antum mengimani hadist2 selainnya?
Balas
15. Asy-Syifa mengatakan:
Januari 18, 2010 pukul 3:09 am
AlhamduliLlah jelas sekali dilil2 diatas adalah dalil dari Al-Qur’an & Al Hadits yg Insya Alloh sanad muttasil sampai k Nabi SAW, dan kami lebih memilih apa kata Al-Qur’an dan Al Hadits dari pada kata2 golongan/sekte/aliran baru yg banyak di blog2 ataupun alamat website2 yg marak saat ini.
Balas
16. Nana Ade Sugiana mengatakan:
Januari 23, 2010 pukul 7:52 am
Assalamu ‘alaikum
Mohon izin untuk meng copy paste ke halaman pribadiku untuk memberi pencerahan kepada sahabat-sahabatku yang lagi gelisah karena amalan ibadahnya dianggap Bid’ah oleh orang yang mengatasnamakan salafi. Wassalam.
Balas
17. Asy-Syifa mengatakan:
Januari 25, 2010 pukul 1:36 am
Wa ‘alaikum slm Wr. Wb.
Silahkan Akhi, mdh2n bermanfaat!
Balas
18. sandhi mengatakan:
Januari 26, 2010 pukul 3:32 am
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa bacaan atau amalan yang pahalanya dikirimkan/dihadiahkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai kepada si mayit. Lihat: Takmilatul Majmu’ Syarah Muhadzab 10:426, Fatawa al-Kubro al-Fiqhiyah (al-Haitsami) 2:9, Hamisy al-Umm (Imam Muzani) 7:269, al-Jamal (Imam al-Khozin) 4:236, Tafsir Jalalain 2:19, Tafsir Ibnu Katsir ttg QS. An-Najm : 39, dll.
Imam An-Nawawi رحمه الله berkata di dalam Syarah Muslim 1: 90:
“Adapun bacaaan Al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang mashyur dalam madzhab Syafi’i, adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi. Adapun dalil Imam Syafi’i dan pengikutnya adalah firman Allah QS.An-Najm : 39: “Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri” dan , “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslahsabda Rasulullah amal usahanya, kecuali tiga hal yaitu: sedakah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang berdoa untuknya.”
Balas
o jang dadang mengatakan:
Januari 27, 2010 pukul 2:17 am
Om Sandhi sy rasa pendapat-pendapat Ulama besar yg Om ketik ato kt admin mah COPY-PASTE, kayanya blum tuntas sampe titik (intaha) kok dipotong-potong gitu, Insya Allah kami Ahlus Sunnah ngga bisa ditipu dgn tulisan anda dari potongan2 pendapat Ulama di atas krn km sdh baca ungkapan2 Ulama besar panutan kami diatas s.d “Intaha”
Baiknya mah kalo pingin ngajak orang lain ikut sekte/golongan/pendapat anda, jangan pake cara2 kotor dgn memotong-motong Ayat Quran / Hadits utk menguatkan pendapat hawa nafsunya….! Kagak akn laku cara2 gitu mah Om…! percaya dech
Mf y kalo salah ucap
Balas
19. sandhi mengatakan:
Januari 26, 2010 pukul 3:35 am
Lihat juga: Raudhatut Thalibin, Imam An-Nawawi 2:145, Mughnil Muhtaj 1: 268, Hasyiyatul Qalyubi 1: 353, Al-Majmu’ Syarah Muhadzab 5: 286, Al- Fiqhu Alal Madzahibil Arba’ah 1:539, Fathul Qadir 2:142, Nailul Authar 4:148. Berkata Imam Asy-Syafi’i رحمه الله di dalam Al-Umm 1: 248:
“Aku membenci ma’tam, yaitu berkumpul-kumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru.”
Lebih lanjut di Kitab I’anatut Thalibin, Syarah Fathul Mu’in, juz 2, hal.145 – Kitab rujukan para Nahdliyyin dan NAHDLATUL ULAMA (NU) disebutkan:
“Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk BID’AH MUNGKARAT YANG BAGI OANG YANG MEMBERANTASNYA AKAN DIBERI PAHALA.”
Balas
20. Asy-Syifa mengatakan:
Januari 27, 2010 pukul 1:35 am
Terima kasih atas komentar/pendapat/copy-paste Sdr Sandhi, mf komentar2 seperti saudara kami sudah baca di banyak blog yg sefaham dgn sdr dan juga sdh banyak dijawab dgn jawaban yg sngat jelas.
Sebelumnya apa Sdr memiliki kitab2 yg antum sebutkan itu (kitab2 Asy-Syafiiyyah)? Kalo memiliki, apa sdh baca teks dr kitab2 yg Antum sebutkan tsb secara tuntas tdk dgn memotong-motong ungkapan Ulama ataupun menyembunyikan ungkapan2 selanjutnya atau sebelumnya?
Kalo benar anda memilikinya & sdh baca keseluruhannya, kok knapa ya beda dgn ktb2 yg kami miliki (ktb2 yg antum sebutkan banyak)? kok tdk seperti yg anda “Copy-paste”-kan di komentar ini?
Afwan, Ana hnya ngasi saran, sebagai mana yg sekte/golongan antum gembor-gemborkan “DILARANG KERAS TAQLID BUTA” knapa antum sendiri berpendapat dgn “Copy-Paste” apa bedanya TAKLID BUTA DGN cOPY-pASTE? Alangkah baik nya antum baca teks asli dr ktb2 yg antum sebutkan di atas, kalo pun blum punya ktbnya, bisa pinjam kan? kalo sdh pinjam & blum lancar baca, bisa kan antum minta tolong bacain sm Ust/siapa sj yg memahami “logotul Aroby” dgn baik & benar, baca sampai tuntas! jangan sepotong-sepotong! Insya Alloh Antum akan menangkap & memahami scr berimbang.
Mohon maaf bila ada kt2 yg berlebihan, semoga kita semua ditunjukan oleh Alloh SWT kpd pemahaman yg benar & lurus menurut Alloh SWT, bukan benar menurut hawa nafsu! Amiin.
lbh jelasnya:
http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=&func=view&catid=8&id=5366&lang=id
http://nabimuhammad.wordpress.com/tahlilan/
Balas
21. sandhi mengatakan:
Januari 29, 2010 pukul 2:21 am
Alhamdulillah saya punya kitab2 itu karena memang saya ngajinya juga di NU. Selain itu saya juga punya kitab kumpulan fatwa itu. Dan alhamdulillha saya juga tidak copy paste semata.
Mengenai perbedaan itu, tergantung dari mana penerbitnya. Karena masing2 penerbit memiliki halaman yang berbeda. Tetapi lebih baik anda baca di bab2 janaiz.
Apa yang saya tulis hanyalah untuk meng-clearkan anggapan orang sekaligus me-recall kembali ingatan kita bahwa Kyai-kyai kita telah memperingatkan bahwasanya Selamatan Kematian itu adalah Bid’ah Madzmumah yang terangkum di dalam Fatwa Muktamar Nahdlatul Ulama ke I. Jadi tidak ada yang salah dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa itu adalah Bid’ah bahkan bukan Bid;ah Hasanah seperti terlihat pada fatwa Mukatamar NU tersebut.
Silahkan Anda merujuk kepada Fatwa Muktamar NU tersebut, niscaya Anda akan dapatkan apa adanya tanpa dipotong-potong. Silakan pesan bukunya di penerbit Khalista atau PWNU LTN Jatim.
Selain itu sayapun punya buku kumpulan fatwa NU yang diterbitkan di tahun 1950-an. Jadi silakan lihat lagi, supaya tidak berkepanjangan di dalam masalah ini.
Adapun pendapat Imam Asy-Syafii tersebut saya tidak sepakat secara mutlak. Tetapi masih ada ruang untuk sampainya pahala kepada si mayit. Seperti: shodaqah, puasa, haji dan tentumya doa.
Balas
o Asy-Syifa mengatakan:
Februari 1, 2010 pukul 1:47 am
sebelumnya kami telah mengomentari pendapat Sdr Shandi tentang kitab2 Ulama Asy-Syafiiyah yg sdr nukil secara sepotong-sepotong & alhamdulillah di alenia terakhir komentar sdr
“Adapun pendapat Imam Asy-Syafii tersebut saya tidak sepakat secara mutlak. Tetapi masih ada ruang untuk sampainya pahala kepada si mayit. Seperti: shodaqah, puasa, haji dan tentumya doa.”
sdr scr tdk langsung besikap jantan & ksatria mengakuinya, maka kami salut dgn sikap sdr, berarti sy rasa sdh clear msl pendapat Ulama Asy-syafiiyah bahwa itu tdk seperti yg sdr tulis karena memang nukilan Sdr tsb tdk tuntas.
Kemudian Sdr mengalihkan perhatian dgn berdalil mengatas-namakan Fatwa NU yg kita tau NU merupakan Ormas Islam terbesar d Indonesia bahkan konon di dunia, maaf kalau sy slh (krn sy bukan anggota NU/Muhamadiyah/Persis dll tp sy punya banyak teman & saudara yg sy kagumi & hormati di NU/Muhamadiyah/Persis). Terserah itu hak Sdr, tp yg sy tau dr sodara2 d NU yg menjadi pengurus, belum pernah ada muktamar/kesepakatan pengharaman “TAHLILAN” secara ‘IJMA. Kita tdk bisa menutup mata, kaum “Nahdiyyin” adalah kaum yg selalu istiqomah dlm pengamalan “TAHLILAN”. Saya rasa Saudara kita kaum Nahdiyin lebih faham dgn Fatwa2 Ulamanya dari pada Sdr Shandi.
Analogi sederhanaya begini: Yg lebih mengenal orang tua saya adalah saya sendiri sbg anaknya dibanding dgn Sdr, ktemu sj blum apalagi kenal.
Sadarlah wahai saudaraku Shandi, kami tidak mempermasalahkan apakah anda sepakat dgn kami atau tdk, yg penting walaupun beda pendapat, alangkah indahnya Antum bisa menghormati pendapat Muslimin yg lain? Anda punya pendapat, muslim yg lain pun punya pendapat. Antum punya guru, yg lain pun sama. Antum punya Sanad, yg lain pun memiliki sandad yg muttasli kpd Rasullulloh SAW. Antum menginginkan keselamatan dunia & akhirat dgn meyakini & menjalankan apa yg sekaran Antum yakini, demikian juga orang lain yg berbeda pendapat dgn Antum, sm2 mengharapkan keselamatan dunia & akherat dgn berusaha ittiba kpd AL-Qur’an & Hadits Nabi SAW dgn pemahaman Salafus-Shalih.
Sy juga merasa sedih saudara2 sy d NU/Muhamadiyyah/Persis dll yg dulu akur hidup rukun, tp setelah ada aliran baru yg “ANEH” sekarang jd timbul perpecahan, dgn dalih “PERSATUAN UMAT DGN PEMURNIAN AQIDAH” ttp setelah ditelita malah “PERPECAHAN UMAT DGN PENCAMPURAN AQIDAH”. LAHAWLA WA LAA QUWWATA, WA KAFAA BILLAHI NASHIROO…!
RasuluLloh SAW mengajarkan dakwah yg santun & Rahmatan Lil alamin (bil lati hiya ahsan) bukan dgn cr memecah belah umat apalagi memfitnah pendapat ulama2 mu’tabar RA.
Saya mohon maaf bila (atau pun bahkan) memang kata2 sy kurang berkenan, sebenarnya saya tdk mau memperpanjan masalah ini, motifasi kami menulis artikel diatas hanyalah utk orang2 yg biasa mengamalkan “TAHLILAN” supaya setiap amalan2 itu ada dasar hukumnya (Al-Qur’an, Hadits, Ijma Ulama & Qiyyas). Terserah saudara2 kami yg lain yg tdk sependapat, itu hak beliau2 asalkan saling menghormati tdk saling menghujat. Tdk ada hujatan kpd pihak yg besebrangan yg ditulis di artikel ini.
Akhirnya sekali lg, sy mengajak Saudara2 utk bersikap bijak & lapang dada dlm menyikapi khilafiyah Furuiyyan yg belum ada ijma Ulama ttng haram/tdknya. Sedangkan sikap sombong, suudzon, menyakiti/menghina sesama muslim, saling menyesatkan atau bahkan mengkafirkan itu semua Sepakat dlm Al-Qur’an, Hadits & Ijma Ulama adalah haram hukumnya.
BiLlahit Taufiq wal Afwuminkum
Balas
22. sandhi mengatakan:
Januari 29, 2010 pukul 2:23 am
Saya persilahkan Anda dapatkan dan cari buku ini :
Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), hal. 15-17, Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
Balas
23. sandhi mengatakan:
Januari 29, 2010 pukul 2:34 am
Buat mas Jajang Dadang janganlah berpikir seperi pedagang. Karena dakwah itu tidak untuk dijual belikan atau diperdagangkan, Kang Jajang Pedagang.
Silakan Anda rujuk kitab-kitab itu sendiri. Apa yang saya tulis juga merupakan apa yang termaktub dalam Keputusan Masalah Diniyah Muktamar Nahdlatul Ulama ke I.
Dan saya sudah cocokkan dengan referensi kitab yang ditunjukkan oleh Muktamar tersebut. Jika memang Anda tidak sepakat dengan “jualannya” (versi pedagang) Muktamar NU itu silahkan.
Dan saya persilakan juga Anda cari dan dapatkan buku (maaf, saya tidak sedang jualan/lastu pedagang), tetapi NU Jatim menjual buku ini) :
Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), hal. 15-17, Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
Apa yang saya tulis ada di situ. Sekaligus saya juga bermaksud agar kita me-recall kembali ingatan kita bahwa pendapat bid’ah atas acara selamatan kematian telah difatwakan oleh kyai-kyai kita sendiri dalam Muktamar tersebut. Dan bukan pula bid’ah hasanah tetapi Bid’ah Madzmumah (Bid’ah Tercela).
Semoga Anda semua dapat lapang dada dengan isi keputusan tersebut. (Dulu, saya juga sesak mendapati hal ini).
Jadi dengan demikian sebenarnya kita dapat mengakhiri polemik ini. Sekian. Jazakumullah Khoiron.
Balas
o Asy-Syifa mengatakan:
Maret 23, 2010 pukul 3:04 am
Tambahan buat yg menyebarkan isu/fitna yg mengatas namakan Muktamar NU dan mengaku memiliki buku asli hasil Muktamar tsb & sdh membaca tuntas membacanya serta sdh merecek dll (di nuqil darihttp://www.facebook.com/posted.php?id=316498805206&share_id=111434982202351&comments=1#!/topic.php?uid=316498805206&topic=12779 ):
بسم الله الرّحمن الرّحيم
الحمد لله ربّ العا لمين و به نستعين على أمور الدّنيا والدّين
والصّلاة والسّلام على أشرف الانبياء والمرسلين حبيبنا و شفيعنا و مولانا محمّد صلّى الله عليه و سلّم و على اله و صحبه و ازواجه وذرّيّاته ومن تبعه الى يوم الدّين
امين
امّا بعد
Sungguh ironis cara-cara wahaby dalam mencari pengikut, tidak segan-segan lagi kini mereka memelintir hasil Bahtsul Masaail Nahdhlotul ‘Ulama prihal Tahlilan. Seolah-olah merekalah yang paling tahu tentang warga NU. Sungguh lucu prilaku mereka ini. Mereka hendak mewahabykan ahlussunnah wal jama’ah di Indonesia dengan menghalalkan tipu daya (tahrif). Seandainya mereka memang adalah Islam, islam macam apakah mereka ini karena telah menghalalkan menipu publik dalam dakwahnya.
——————————————————————————————————————————
Fakta:
Post #1
Luqmanul Hakim Effendi wrote10 hours ago
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
@ All member :
Tafadhol di cek & ricek (tabayyun) tentang kebenaran fatwa2 yang konon dikeluarkan NU berikut ini.
Jika pernyataan2/fatwa2 tsb benar dikeluarkan NU :
a. mengapa ‘ulama2 NU jaman sekrg malah mengerjakan yg dilarang guru2nya & dilarang para pendiri NU?
b. apakah NU termasuk wahabi?
Terima kasih atas pencerahannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
-luqman-
1. MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) Ke-1 di Surabaya
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 M.
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya ?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu.
KETERANGAN :
Dalam kitab: 1. I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz, 2. Al Fatawa al Kubra.
———————————————————————————————————————————
Perhatikanlah cara mereka memojokkan kaum Nahdlhliyyien, di awal kalimatnya seolah-olah sangat manis dan santun, walhal dibalik hatinya wallaaHu a’lam… lihatlah di Seandainya hasudan berbentuk pertanyaan ini tidak dicounter maka niscaya dikhawatirkan orang awam akan berfikir bahwa yang ditulis sang penanya adalah sebuah fakta
Perhatikanlah pula, pertanyaan-pertanyaan bermakna sindiran halus ini
a. mengapa ‘ulama2 NU jaman sekrg malah mengerjakan yg dilarang guru2nya & dilarang para pendiri NU?
b. apakah NU termasuk wahabi?
Sebelum ana menjawab pertanyaan pria yang sangat sopan ini, sebelumnya ana hendak menekankan pada wahabian lainnya yang akan mengutip Hasil bahtsul Masaail Nahdlhotul ‘Ulama agar kiranya mengutipnya secara lengkap tanpa mengeditnya terlebih dahulu, agar jelas perkara yang haq dan yang baathil, dan agar tidak menimbulkan fitnah bagi yang hendak bertanya..
—————————————————————————————————————————–
Sekarang izinkanlah ana memposting potongan hasil Muktamar yang selengkapnya :
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG…
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
————————————————————————————————————————
Bandingkanlah dengan postingan sang penanya.
Perhatikanlah bahwa pertanyaan dan jawaban sangat berbeda dengan versi aslinya, si penanya menghilangkan kalimat “sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu”. Terlihat jelas bahwa ada usaha mendeskriditkan para pecinta tahlilan dengan cara licik.
Dan jelas tertulis disitu bahwa yang dimakruhkan adalah mengkhususkan waktu berkumpulnya, bukan proses berkumpulnya, dan bukan pula pada sedekahnya. Hal ini dapat mengakibatkan kesalah fahaman bila kita hanya mebacanya sekilas, terlebih apabila kalimat “sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu” dihilangkan. Entah untuk tujuan apa. Wallahu a’lam bis showaab.
Semua Nahdlhiyyin juga tahu bahwa kesunnahan Tahlilan terletak pada isi yang terdapat didalam acara tersebut. Apabila tahlilan tersebut hanya diisi acara ngobrol-ngobrol tidak jelas apalagi berisi gossip (khususnya menggosip kaum anti tahlil) tentunya ini adalah haram. Akan tetapi kesunnahan acara tahlilan adalah terletak pada lantunan dzikir, ayat-ayat qur’an, dan do’a-do’a yang dibacakan orang-orang yang berkumpul tersebut, yang mana kesemua pahala bacaan tersebut diniatkan bagi yang sudah wafat.
Ada lontaran yang menarik dari para kalangan yang anti tahlilan, mereka mengutarakan bahwa kenapa mendoakan orang yang sudah wafat harus dengan tahlilan, bukankah berdoa bisa kapan saja. Sebenarnya asumsi ini cukup menggelitik ana, mereka mengakui sendiri kalau mendoakan orang yang sudah mati bisa kapan saja, lantas mengapa tidak bisa di saat tahlilan??? Mereka ini seolah-olah menuduh secara tidak langsung jikalau orang yang tahlilan hanya mendoakan orang tuanya atau sanak familinya yang sudah wafat di saat tahlilan saja. Sungguh logika mereka menyalahi fakta sesunguhnya yang ana tahu prihal kalangan yang tidak anti tahlilan.
Prihal sedekah makanan, kemakruhan terjadi apabila niat sedekah makanan itu adalah untuk meratapi si mayyit,
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN ( YANG DILARANG ).”
akan tetapi kemakruhan tersebut tidak berlaku apabila makanan yang disuguhkan tersebut diniatkan untuk memuliakan para tamu yang ikut mendoakan dalam acara tahlilan tersebut.
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا الإسْلَامُ قَالَ طِيْبُ الْكَلَامِ وَإطْعَامُ الطَّعَامِ. رواه أحمد
Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR Ahmad)
Atau dalam hal si tuan rumah meniatkan pahala sedekah makanannya tersebut untuk keluarganya yang sudah wafat. Maka ulama NU berpatokan pada hadist:
Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah SAW, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
عَنْ بْنِ عَبَّاسٍ أنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّ أمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإنَّ لِيْ مَخْزَفًا فَُأشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بَهَ عَنْهَا. رواه الترمذي
Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada matifaatnya jika akan bersedekah untuknya?” Rasulullah menjawab, “Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR Tirimidzi)
Lihatlah betapa ulama-ulama Nahdhlotul ‘Ulama sangat detail dalam memahami dan menganalisa suatu kasus dan juga dalam memahami dan menyikapi suatu hadist. Juga tidak gegabah menjatuhkan suatu hukum berdasarkan tekstual suatu hadist.
Adapun pertanyaan a. apakah ‘ulama2 NU jaman sekrg malah mengerjakan yg dilarang guru2nya & dilarang para pendiri NU???
Ini adalah pertanyaan nyeleneh dari seseorang yang bukan NU dan hendak mempengaruhi keyakinan warga NU yang hendak mengadakan acara Tahlilan untuk mendo’akan arwah keluarganya yang telah wafat lewat fitnah cara licik ala wahaby.
Adapun pertanyaan b. apakah NU termasuk wahabi?
kiranya pertanyaan ini cukup dijawab dengan senyum sambil mengelus dada sembari berdo’a semoga yang bertanya senantiasa diberi ilmu ma’rifat yang bisa membawanya kepada ke’arifan dan keluhuran budi pekerti.
Aamien…
Tentang pertanyaan-pertanyaan bernada tuduhan dan pengkaburan makna lainnya, ana tidak tertarik untuk melayaninya. Penghasud tidak layak dilayani secara keilmuan, mereka lebih layak ditinggalkan dan dido’akan agar senantiasa diberi taufik dan hidayah oleh Allah Jalla jalaaluH, karena ilmu akan senantisa tertolak pada manusia yang hatinya tidak lembut apalagi mengandung hasud…
Aaamien…
و الله أعلم بالصّواب
Balas
24. sandhi mengatakan:
Januari 29, 2010 pukul 2:35 am
Buat mas Jajang Dadang janganlah berpikir seperi pedagang. Karena dakwah itu tidak untuk dijual belikan atau diperdagangkan, Kang Jajang Pedagang.
Silakan Anda rujuk kitab-kitab itu sendiri. Apa yang saya tulis juga merupakan apa yang termaktub dalam Keputusan Masalah Diniyah Muktamar Nahdlatul Ulama ke I.
Dan saya sudah padankan cocokkan dengan referensi kitab yang ditunjukkan oleh Muktamar tersebut. Jika memang Anda tidak sepakat dengan “jualannya” (versi pedagang) Muktamar NU itu silahkan.
Dan saya persilakan juga Anda cari dan dapatkan buku (maaf, saya tidak sedang jualan/lastu pedagang), tetapi NU Jatim menjual buku ini) :
Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), hal. 15-17, Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
Apa yang saya tulis ada di situ. Sekaligus saya juga bermaksud agar kita me-recall kembali ingatan kita bahwa pendapat bid’ah atas acara selamatan kematian telah difatwakan oleh kyai-kyai kita sendiri dalam Muktamar tersebut. Dan bukan pula bid’ah hasanah tetapi Bid’ah Madzmumah (Bid’ah Tercela).
Semoga Anda semua dapat lapang dada dengan isi keputusan tersebut. (Dulu, saya juga sesak mendapati hal ini).
Jadi dengan demikian sebenarnya kita dapat mengakhiri polemik ini. Sekian. Jazakumullah Khoiron.
Balas
25. sandhi mengatakan:
Januari 29, 2010 pukul 2:40 am
Buat Mas Asy-Syifa, Kalau Anda mempertanyakan bahwa apa yang saya tulis ada diblog-blog lainnya, maka saya katakan:
Bahwa apa yang tersebar pada blog-blog itu adalah berasal dan bersumber dari saya. Jadi saya tidak meng-copy paste karena memang dari saya asalnya. Sebelumnya tidak ada satupun diblog-blog tersebut yang mengutip fatwa Mukatamar NU tersebut. Adapun maksud saya melakukannya adalah telah Mas ketahui pada jawaban sebelumnya.
Balas
26. Asy-Syifa mengatakan:
Februari 1, 2010 pukul 2:08 am
Jawaban dari komentar Sdr Shandi sudah tercakup pada http://asysyifawalmahmuudiyyah.wordpress.com/2007/07/06/90/#comment-1192
Balas
27. sandhi mengatakan:
Februari 1, 2010 pukul 6:56 am
Jazaakumullah Khoiron untuk Admin Asy-Syifa. Saya yakin kita semua sama2 berniat untuk mengikuti syariat ini dengan benar. Namun apa yg saya sampaikan itu adalah memang semata dari Fatwa tersebut. Perkara setuju atau tidak setuju, maka demikianlah kenyataannya.
Sayangnya, rata2 kita mensalah artikan ketika masing-masing menjelaskan hujjah2nya masing2 justru diartikan sebagai perpecahan bahkan tidak toleran.
Padahal fenomena ini adalah ruang besar untuk kita saling berlomba mencari hujjah yang lebih dekat kepada kebenaran.
Saya setuju sekali dengan pendapat Saudara:
“Akhirnya sekali lg, sy mengajak Saudara2 utk bersikap bijak & lapang dada dlm menyikapi khilafiyah Furuiyyan yg belum ada ijma Ulama ttng haram/tdknya. Sedangkan sikap sombong, suudzon, menyakiti/menghina sesama muslim, saling menyesatkan atau bahkan mengkafirkan itu semua Sepakat dlm Al-Qur’an, Hadits & Ijma Ulama adalah haram hukumnya.”
Saya juga mohon maaf atas segala kekhilafan, kealpaan ataupun atas kata2 yang menyinggung perasaan Saudara ketika berdebat dan berdiskusi. Sungguh suatu kebahagiaan bagi saya dapat berdiskusi di forum ini sehingga dapat memperluas wawasan kita ttg agama yang haq ini.
Catatan: Makanya saya nonton balap motor dan Rossi aja di TV kalo lg suntuk, he..he..
Balas
28. aZED mengatakan:
Februari 16, 2010 pukul 4:28 am
kang yunken dalil 1 dugi k 7 dintenna,40,100 dintena
haturnuhun kang sateacana
Balas
29. ahmad muthohar mengatakan:
Februari 17, 2010 pukul 1:15 am
لنا اعمالنا ولكم اعمالكم
Yang penting ketka kita mengerjakan sesuatu kita tau dalilnya وكل من يعمل بغيرعلم عمله مرددة لا تقبل
Balas
30. Asy-Syifa mengatakan:
Februari 17, 2010 pukul 3:12 am
Dalil hari ke-1 s/d 7, 40, 100 silahkan klik:
http://salafytobat.wordpress.com/2008/07/31/dalil-tentang-tahlilan-riwayat-thawus-al-yamani-tabiin/
Balas
Tinggalkan Balasan

Nama (wajib)
Surat (tidak akan dipublikasikan) (wajib)
Situs web



Beritahu saya mengenai komentar-komentar selanjutnya melalui surel.
Beritahu saya tulisan-tulisan baru melalui surel.
• Pencarian

• SPESIAL




bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR Ahmad)
Atau dalam hal si tuan rumah meniatkan pahala sedekah makanannya tersebut untuk keluarganya yang sudah wafat. Maka ulama NU berpatokan pada hadist:
Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah SAW, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
عَنْ بْنِ عَبَّاسٍ أنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّ أمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإنَّ لِيْ مَخْزَفًا فَُأشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بَهَ عَنْهَا. رواه الترمذي
Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada matifaatnya jika akan bersedekah untuknya?” Rasulullah menjawab, “Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR Tirimidzi)
Lihatlah betapa ulama-ulama Nahdhlotul ‘Ulama sangat detail dalam memahami dan menganalisa suatu kasus dan juga dalam memahami dan menyikapi suatu hadist. Juga tidak gegabah menjatuhkan suatu hukum berdasarkan tekstual suatu hadist.
Adapun pertanyaan a. apakah ‘ulama2 NU jaman sekrg malah mengerjakan yg dilarang guru2nya & dilarang para pendiri NU???
Ini adalah pertanyaan nyeleneh dari seseorang yang bukan NU dan hendak mempengaruhi keyakinan warga NU yang hendak mengadakan acara Tahlilan untuk mendo’akan arwah keluarganya yang telah wafat lewat fitnah cara licik ala wahaby.
Adapun pertanyaan b. apakah NU termasuk wahabi?
kiranya pertanyaan ini cukup dijawab dengan senyum sambil mengelus dada sembari berdo’a semoga yang bertanya senantiasa diberi ilmu ma’rifat yang bisa membawanya kepada ke’arifan dan keluhuran budi pekerti.
Aamien…
Tentang pertanyaan-pertanyaan bernada tuduhan dan pengkaburan makna lainnya, ana tidak tertarik untuk melayaninya. Penghasud tidak layak dilayani secara keilmuan, mereka lebih layak ditinggalkan dan dido’akan agar senantiasa diberi taufik dan hidayah oleh Allah Jalla jalaaluH, karena ilmu akan senantisa tertolak pada manusia yang hatinya tidak lembut apalagi mengandung hasud…
Aaamien…
و الله أعلم بالصّواب
Balas
24. sandhi mengatakan:
Januari 29, 2010 pukul 2:35 am
Buat mas Jajang Dadang janganlah berpikir seperi pedagang. Karena dakwah itu tidak untuk dijual belikan atau diperdagangkan, Kang Jajang Pedagang.
Silakan Anda rujuk kitab-kitab itu sendiri. Apa yang saya tulis juga merupakan apa yang termaktub dalam Keputusan Masalah Diniyah Muktamar Nahdlatul Ulama ke I.
Dan saya sudah padankan cocokkan dengan referensi kitab yang ditunjukkan oleh Muktamar tersebut. Jika memang Anda tidak sepakat dengan “jualannya” (versi pedagang) Muktamar NU itu silahkan.
Dan saya persilakan juga Anda cari dan dapatkan buku (maaf, saya tidak sedang jualan/lastu pedagang), tetapi NU Jatim menjual buku ini) :
Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), hal. 15-17, Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
Apa yang saya tulis ada di situ. Sekaligus saya juga bermaksud agar kita me-recall kembali ingatan kita bahwa pendapat bid’ah atas acara selamatan kematian telah difatwakan oleh kyai-kyai kita sendiri dalam Muktamar tersebut. Dan bukan pula bid’ah hasanah tetapi Bid’ah Madzmumah (Bid’ah Tercela).
Semoga Anda semua dapat lapang dada dengan isi keputusan tersebut. (Dulu, saya juga sesak mendapati hal ini).
Jadi dengan demikian sebenarnya kita dapat mengakhiri polemik ini. Sekian. Jazakumullah Khoiron.
Balas
25. sandhi mengatakan:
Januari 29, 2010 pukul 2:40 am
Buat Mas Asy-Syifa, Kalau Anda mempertanyakan bahwa apa yang saya tulis ada diblog-blog lainnya, maka saya katakan:
Bahwa apa yang tersebar pada blog-blog itu adalah berasal dan bersumber dari saya. Jadi saya tidak meng-copy paste karena memang dari saya asalnya. Sebelumnya tidak ada satupun diblog-blog tersebut yang mengutip fatwa Mukatamar NU tersebut. Adapun maksud saya melakukannya adalah telah Mas ketahui pada jawaban sebelumnya.
Balas
26. Asy-Syifa mengatakan:
Februari 1, 2010 pukul 2:08 am
Jawaban dari komentar Sdr Shandi sudah tercakup pada http://asysyifawalmahmuudiyyah.wordpress.com/2007/07/06/90/#comment-1192
Balas
27. sandhi mengatakan:
Februari 1, 2010 pukul 6:56 am
Jazaakumullah Khoiron untuk Admin Asy-Syifa. Saya yakin kita semua sama2 berniat untuk mengikuti syariat ini dengan benar. Namun apa yg saya sampaikan itu adalah memang semata dari Fatwa tersebut. Perkara setuju atau tidak setuju, maka demikianlah kenyataannya.
Sayangnya, rata2 kita mensalah artikan ketika masing-masing menjelaskan hujjah2nya masing2 justru diartikan sebagai perpecahan bahkan tidak toleran.
Padahal fenomena ini adalah ruang besar untuk kita saling berlomba mencari hujjah yang lebih dekat kepada kebenaran.
Saya setuju sekali dengan pendapat Saudara:
“Akhirnya sekali lg, sy mengajak Saudara2 utk bersikap bijak & lapang dada dlm menyikapi khilafiyah Furuiyyan yg belum ada ijma Ulama ttng haram/tdknya. Sedangkan sikap sombong, suudzon, menyakiti/menghina sesama muslim, saling menyesatkan atau bahkan mengkafirkan itu semua Sepakat dlm Al-Qur’an, Hadits & Ijma Ulama adalah haram hukumnya.”
Saya juga mohon maaf atas segala kekhilafan, kealpaan ataupun atas kata2 yang menyinggung perasaan Saudara ketika berdebat dan berdiskusi. Sungguh suatu kebahagiaan bagi saya dapat berdiskusi di forum ini sehingga dapat memperluas wawasan kita ttg agama yang haq ini.
Catatan: Makanya saya nonton balap motor dan Rossi aja di TV kalo lg suntuk, he..he..

No comments:

Post a Comment